4) PENOKOHAN
/ PERWATAKAN
a.
Aku yang berwatak :
q Pencemas
Aku
sangat cemas ketika ia tak sengaja mendengar pertikaian antara Sensei dan
isterinya. Selama ini ia manganggap bahwa kehidupan rumah tangga Sensei adalah
sebuah kehidupan yang berjalan dengan sangat harmonis. Namun, pada malam itu,
yang ia dengar adalah suara Sensei yang walaupun tiak terlalu tinggi, namun
terdengar sangat marah. Sementara itu di sisi lain, ia mendengar suara seorang
wanita yang sedang menangis. Ia hanya bisa berdiri di depan rumah Sensei tanpa bisa
melakukan apa pun. Lalu, ia kembali ke pondokannya dan sangat mencemaskan nasib
sepasang suami isteri itu.
Buktinya:
“Kecemasan yang amat
sangat memenuhi hatiku. Kucoba membaca, tetapi kurasa bahwa aku tak dapat
memusatkan pikiran” (paragraf 2 halaman 25)
q Peduli
Ia
begitu peduli pada semua orang, dan hal ini terlihat ketika ia bersedia
mendengar keluhan isteri Sensei yang merasa seolah menjadi bagian dari dunia
yang dibenci Sensei. Isteri Sensei sampai manangis ketika ia menceritakan semua
itu pada tokoh “aku”. Sebagai orang yang begitu peduli pada orang lain, ia
berusaha semampunya untuk menghibur isteri Sensei.
Buktinya:
“Aku berusaha
sedapat-dapatnya untuk menghibur isteri Sensei. Dan tampak bahwa ia pun
berusaha mendapatkan suatu pelipur kalau ada bersamaku” (paragraf 7 halaman 51)
q Berbakti kepada orang tua
Tokoh
“aku” adalah orang yang sangat berbakti pada kedua orang tuanya. Walaupun ada
kalanya ketika ia merasa agak sedikit kesal pada orang tuanya yang terus
memaksanya untuka mengadakan syukuran atas kelulusannya, namun ia tidak sampai
menunjukkan perasaannya itu secara terang-terangan. Sebisa mung-kin ia berusaha
menjaga hati kedua orang tuanya. Selain itu, ia juga merawat ayah-nya dengan
sangat ikhlas ketika ayahnya sedang
terbaring sakit.
Buktinya:
“Dengan bantuan juru
rawat, kuganti air dalam bantalan karet itu dengan yang baru, dan kutaruh
sebungkus potongan es yang baru di dahinya. Kuletakkan itu pelan-pelan,
sehingga ujung-ujung es yang tajam itu tidak membuatnya sakit” (paragraf 3
halaman 138)
b.
Sensei yang berwatak :
v Suka menyendiri
Sensei
tidak pernah begitu menyukai keramaian. Ia sangat membenci dirinya dan seluruh
manusia. Ia lebih memilih kesendirian dan kesunyian yang menemani hidupnya. Ia
tidak memiliki lagi kepercayaan pada seseorang.
Buktinya:
“Sensei pun selalu sendiri”(paragaraf 1
halaman 10)
v
Pendiam
Sensei
adalah orang yang pendiam, kalaupun ia berbicara, ia hanya membi-carakan
sesuatu yang maknanya sulit dimengerti. Sejak semula, sifat Sensei ini memang
aneh dan Sensei adalah orang yang tidak mudah didekati, namun, sifat inilah
yang membuat tokoh “aku” semakin ingin mengenal Sensei.
Buktinya:
“Namun demikian, tak
ada perubahan besar pada tingkah laku Sensei terha-dapku. Ia selalu pendiam.
Kadang-kadang ia tampak begitu pendiam sehingga lebih tepat kiraku kalau
dikatakan ia merasa sunyi” (paragraf 14 halaman 17)
v Pesimis
Sensei
adalah orang yang sangat pesimis. Hal ini terbukti ketika ia menolak untuk
membimbing tokoh “aku” saat tokoh “aku” berusaha meminta bantuan Sensei untuk
menyelesaikan thesisnya. Padahal menurut isterinya, Sensei adalah orang yang
suka membaca dahulunya, namun kali itu ia tidak lagi tertarik pada ratusan buku
yang berjejer di ruangannya. Ia merasa tidak ada gunanya lagi membaca buku itu,
karena ia tidak akan pernah menjadi lebih baik dari keadaannya yang sekarang.
Buktinya:
“’Tak ada sebab
tertentu...Yah, barangkali karena aku berpendapat bahwa berapa pun juga buku
kubaca, namun aku tak akan menjadi orang yang lebih baik dari keadaanku yang
sekarang.” (paragraf 3 halaman 65)
v
Memiliki
motivasi hidup yang rendah
Sensei
merasa ia adalah orang yang tidak akan berguna jika ia terus hidup, ia merasa
tidak sanggup untuk menanggung dosa-dosa
yang telah ia lakukan. Walaupun tidak jelas apa sebenarnya kesalahan yang telah
ia lakukan. Sensei tidak lagi begitu tertarik pada dunia yang ada di
sekitarnya.
Buktinya:
“Ketika keinginan
akan hukuman ini menjadi begitu kuat, aku pun mulai merasa bahwa hukuman itu mestinya datang dari diriku
sendiri, dan bukan dari orang lain. Aku pun berpikir tentang mati. Bunuh diri
agaknya suatu hukuman yang tepat bagi dosa-dosaku” (paragraf 2 halanman 282)
c.
Shizu / Ojusan (isteri Sensei) yang berwatak :
Ø
Penurut
dan patuh
Shizu
adalah orang yang sangat penurut dan patuh terutama kepada sua-minya. Hal ini
terbukti ketika ia segera melaksanakan apa pun yang diminta oleh suaminya.
Sehingga tokoh “aku” pun berpendapat bahwa ia memang orang yang sangat patuh
dan penurut.
Buktinya:
“Dan tingkah laku
isterinya,bila muncul, tampak selalu penurut dan patuh” (paragraf 7 halaman 24)
Ø
Polos dan kekanak-kanakan
Shizu
adalah orang yang sangat polos dan kekanak-kanakan. Terbukti ketika ia menerima
oleh-oleh dari tokoh “aku”. Dia mengucapkan terma kasih dengan sopan. Ketika ia
kan pergi ke ruengan lain di rumahnya, ia mungkin he-
ran karena ringannya
oleh-oleh itu. Ia pun menanyakan kue apa yang dibawa
oleh tokoh ”aku”
dengan polosnya dan dengan sikap yang agak kekanak-kanakan.
Buktinya:
“Makin akrab kita
dengan isteri Sensei, makin sering rasanya ia memper-lihatkan segi yang polos
dan kekanak-kanakan pada wataknya” (paragraf 1 halaman 62)
Ø
Sopan
Kesopanan
dari seorang Shizu terlihat ketika ia berterima kasih pada tokoh “aku” ketika ia menerima oleh-oleh dari tokoh
“aku”.
“Isteri Sensei mengucapkan
terima kasih padaku dengan sopan, dan memungut kotak itu ketika ia bangkit
hendak pergi ke kamar sebelah’ (paragraf 1 halaman 62)
Ø
Percaya
Diri
Shizu
muda adalah orang yang sangat percaya diri. Ia sering ke kamar Sensei muda
ketika ia disuruh oleh ibunya. Ia suka
duduk mengobrol dengan Sensei, padahal ia adalah seorang gadis. Namun, ia
begitu santai sehingga Sensei muda pun
bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Buktinya:
“Sesungguhnyalah, dia
tampak begitu percaya pada dirinya sendiri se-hingga aku pun bertanya dalam
hati” (paragraf 1 halaman 177)
d.
Ibu yang berwatak :
Perhatian
Ibu tokoh “aku” sangat perhatian pada anaknya. Ia
memperhatikan seluruh anaknya. Dan ketika ia mendapati anaknya masih belum
istirahat di waktu malam, ia meminta anaknya untuk beristirahat. Inilah bukti
bahwa seorang ibu memang sangat memperhatikan anaknya.
Buktinya:
“Ibuku
mendapatkan aku duduk di antara buku-buku yang berserakan.’Mengapa kau tak
tidur sejenak?’ katanya, ‘Kau tentu letih’” (paragraf 3 halaman 122)
Pencemas
Sebagai
seorang isteri, pastilah ia sangat cemas melihat kesehatan suaminya yang
semakin memburuk. Ia begitu setia menjaga suaminya. Ketika suaminya tidak lagi
mengenalnya dan selalu menggigaukan hal-hal yang tidak jelas, kecemasannya pun
semakin menjadi-jadi.
Buktinya:
“Waktu ia mengatakan
demikian, ibuku jadi agak cemas dan meminta kami berkumpul di sekeliling
ranjangnya” (paragraf 5 halaman 136)
e.
Ayah yang berwatak :
o Tegar / tabah
Walaupun
ia tahu bahwa penyakit yang dideritanya bukanlah penyakit biasa, ia tetap tidak
ingin membuat keluarganya kerepotan. Ia begitu tabah dan tegar menghadapi
penyakit gagal ginjalnya.
Buktinya:
“Sudah jelas bahwa
ayahku merasa khawatir akan penyakitnya. Tetapi ia berusaha menyembunyikan
kekhawatirannya dalam hatinya, dan kapan saja dokter datang, ia tak
menyusahkannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak berarti” (paragraf 1
halaman 111)
o Keras kepala
Sikap
keras kepala yang dimiliki oleh ayah tidak lain bertujuaan agar keluarganya
tidak terlalu mencemaskan kondisinya. Ia tidak ingin keluarganya merasa sedih
melihatnya dengan kondisi yang kian memburuk tersebut
Buktinya:
“Ia tak mau
mendengarkan kami bila kami mengingatkan padanya agar jangan terlampau banyak
makan” (paragraf 2 halaman 118)
f.
Abang yang berwatak :
Ø
Peduli
Walaupun
sudah tinggal jauh dari rumahnya, abang tokoh “aku” adalah orang yang tetap
peduli pada keluarganya. Terbukti ketika ia menanyakan apa saja rencana adiknya
yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di universitas.
Buktinya:
“’Apa saja rencanamu
buat masa depan?’ tanya abangku. Aku menjawabnya dengan pernyataanku sendiri.”
(paragraf 1 halaman 133)
Ø Ambisius
Sifat
ambisius tokoh “abang” ini terlihat ketika ia menolak untuk tinggal di rumah
keluarganya bila nanti ayahnya meninggal karena ia sangat berambisi dengan
pekerjaannya saat itu. Ia yakin bahwa pekerjaannya itu akan membawa hasil yang
sangat luar biasa.
Buktinya:
“Abangku yang penuh
ambisi itu, kutahu, begitu yakin bahwa jabatannya yang menjanjikan harapan baik
itu baru saja mulai” (paragraf 5 halaman 135)
g.
Paman yang berwatak :
Penipu dan
Licik
Sifat penipu dan licik si Paman
terlihat ketika ia mulai berubah sikap saat Sensei pulang ke rumahnya. Setelah
menyelidiki semua keanehan yang terjadi di rumahnya, barulah Sensei tahu bahwa
pamannya telah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh Sensei
padanya. Haampir semua barang koleksi antik almarhum ayahnya telah dijual oleh
pamannya untuk kepentingan si P aman itu sendiri. Begitu juga dengan beberapa
surat tanah dan surat penting lainnya yang seharusnya menjadi milik Sensei.
Buktinya:
“Pendeknya, pamanku
menipu aku tentang warisan itu. Ia dapat melakukan itu tanpa banyak kesulitan
selama tiga tahun di Tokyo. Aku begitu lugu telah menyerahkan segala sesuatu
dengan penuh kepercayaan untuk diurus pamanku.”(paragraf 2 halaman 163)
h.
Okusan yang berwatak :

Hal
di atas terbukti ketika ia dengan sopannya dan dengan terbukanya menerima
Sensei untuk tinggal bersamanya dan anak gadisnya di rumahnya.
Buktinya:
“Setelah memastikan
bahwa ibunya seorang isteri yang baik dari seorang tentara...” (paragraf 1
halaman 171)

Okusan
bersikap begitu bijaknya ketika ia berubah sikap pada Sensei. Karena sebenarnya
ia berharap Sensei mau melamar anaknya. Namun, Sensei malah menunjukkan sikap
yang tidak jelas.
Buktinya:
“Okusan seorang
wanita yang bijak juga, dan mungkin bahwa ia bersi-
kap demikian karena
ia tahu perasaanku” (paragraf 2 halaman 175)

Okusan
menyuruh Sensei agar mau membeli baju baru. Karena, dari pengamatan Okusan
sendiri, ia melihat Sensei sebagai orang yang tergila-gila
pada buku sementara
Sensei tidak begitu memperatikan kebutuhan primernya.
Buktinya:
“Melihat aku tak
membeli apa pun selain buku-buku, Okusan mengatakan bahwa hendaknya aku membeli
untukku sendiribeberapa pakaian baru.” (paragraf 3 halaman 184)
i.
K yang berwatak :
v Tekun
Sifat
K yang tekun ini lahir dari tekadnya untuk menjadi orang besar suatu saat
nanti. Ia yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kuil, tumbuh menjadi seorang
yang tekun dalam segala hal.
Buktinya:
“Sungguh,
K amat tekun. Dilahirkan di sebuah kuil.” (paragraf 2 halaman 191)
v Sentimentil
Setelah
pengangkatannya sebagai seorang anak angkat dari sebuah keluarga ditarik
kembali, ia menjadi agak tertekan. Tekanan jiwa ini dicemaskan akan
mempengaruhi kejiwaan K. Ternyata hal ini terbukti dengan perubahan sikapnya
yan menjadi semakin sentimentil.
Buktinya:
“...perselisihan
kecil yang mengawali keputusannya untuk meninggalkan keluarga angkatnya ada
meninggalkan bekas padanya. Ia jadi bertambah-tambah sentimentil, dan
kadang-kadang ia...” (paragraf 4 halaman 199)
v Keras Hati
Hal
di atas terbukti ketika ia tidak mau
mendengarkan nasehat dari Sensei agar K mau sedikit santai dalam melakukan
pekerjaannya. Padahal ketika itu, Sensei sangat mencemaskan kesehatan K. Namun
k memang orang yang keras hati.
Buktinya:
“Mengetahui watak K
yang keras hati, aku tak berharap akan melihat tugasku itu” (paragraf 2 halaman
200)
v Tak perasa
Di
dalam novel Rahasia Hati ini diceritakan bahwa sifat K yang tak perasa ini sangat mengganggu Sensei. K tampak sama
sekali tak sadar akan cinta Sensei kepada Shizu. Dalam perkara seperti itu, K
memang orang yang tidak peka sama sekali.
Buktinya:
“Dan mesti kuakui
karena aku sadar akan sifat K yang tak perasa inilah maka aku pun kurang enggan
ketimbang keharusan bagiku untuk menga-jaknya tinggal bersama kami” (paragraf 1
halaman 217)
5) LATAR
/ SETTING
A. Latar
Tempat
- Karamakura
Kamakura
merupakan tempat yang paling berkesan bagi tokoh “aku” karena di tempat itulah
ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Sensei.
Buktinya:
“Di
Kamakuralah, dalam liburan musim...” (paragraf
2 halaman 5)
- Tokyo
Kota
Tokyo merupakan latar tempat utama dalam novel ini. Rumah Sensei ada di daerah
Tokyo dan tokoh “aku” juga kuliah di Tokyo. Buktinya :
“Aku kembali ke Tokyo pada akhir...”(paragraf
2 halaman 12)
- Zoshigaya
Wilayah
pemakaman di Zoshigaya merupakan salah satu latar tempat dalam novel ini. Di
tempat inilah, K dikuburkan dan Sensei melakukan ziarah ke makam itu paling
tidak sekali dalam sebulan. Buktinya :
“Hari itu di Zoshigaya ketika aku
memanggilnya”(paragraf 4 halaman 19)
- Ueno
Ueno
merupakan tempat yang digunakan oleh pengarang ketika Sensei
dan tokoh “aku” pergi
berjalan-jalan ke Ueno untuk melihat perayaan musim bunga ketika itu. Buktinya
:
“Sensei dan aku pergi ke Ueno.”(paragraf 2
halaman 33)
B. Latar Suasana
- Mengecewakan
Suasana
dalam cerita ini terasa mengecewakan ketika Sensei tidak begitu mempedulikan
perasaan “aku”. Saat itu tokoh “aku” sudah sangat berharap bahwa mungkin ia dan
Sensei sudah pernah berkenalan sebelumnya. Namun jawaban dari Sensei tdak
membuatnya merasa bahagia, malahan ia merasa sangat kecewa pada kenyataan
yangdidapatinya.
Buktinya:
“’Tak dapat kuingat
bahwa aku telah bertemu dengan kau sebelum ini. Tidakkah kau keliru?’ Dan aku
pun merasa sangat kecewa lagi”(paragraf 1 halaman 12)
- Menyenangkan
Suasana
dalam novel ini terasa menyenangkan ketika Sensei dan tokoh “aku” memuji Sensei
dengan mengatakan bahwa sesungguhnya ia mendapat banyak manfaat dari
kedekatannya dengan Sensei. Untuk saat itu, Sensei dan tokoh “aku” terasa
sebagai orang yang meman sangat dekat sekali.
Buktinya:
“Sensei tertawa, dan
aku pun berkata, ‘Aku tak begitu merasa risau, kalau kupikir kau orang yang
terlalu...”(paragraf 2 halaman 80)
- Menyedihkan
Suasana
dalam novel ini menyedihkan terutama ketika K tewas bunuh diri. Sensei, Okusan
dan Shizu begitu terpukul dengan hal tersebut. Mereka tidak me-nyangka sama
sekali bahwa pada malam itu K bunuh diri. Sampai acara pemaka-man dilaksanakan
pun, tangisan mengalir tiada henti dari kedua wanita itu, semen-tara Sensei
hanya bisa diam terpaku pada nasib yang akan membayanginya di masa depan.
Buktinya :
“Kedua wanita itu
duduk dalam kabut dupa itu. Kini Okusan menangis. Ojosan tentu menangis pula,.
Hatiku, yang hingga saat itu merasa dibelenggu kepedihan dan kesedihan luar
biasa.” (paragraf 3 halaman 271)
C. Latar Waktu
- Musim panas
Musim panas adalah
saat Sensei dan tokoh “aku” bertemu untuk pertama kalinya.
“Di Kamakuralah, dalam liburan musim
panas...”(paragraf 2 halaman 5)
- Sore hari
Sore hari di sini
adalah ketika tokoh “aku” dan Sensei berbincang-bincang di pantai.
“Petang itu, aku mengunjungi...”(paragraf
5 halaman 11)
- Musim dingin
Di saat musim dingin
ini, tokoh “aku” berpamitan pada Sensei dan isterinya karena dia harus pulang
ke kampung halamannya. Saat itu ayahnya sedang sakit.
“Pada musim dingin itu, aku harus pulang”
(paragraf 6 halaman 53)
Hari
upacara peresmian kelulusan
Hari upacara
peresmian kelulusan adalah saat “aku”, Sensei dan Shizu makan bersama untuk
merayakan prestasi tokoh “aku” di rumah Sensei.
“Pada hari upacara kelulusan itu,
kukeluarkan pakaian seragam...” (paragraf 6
halaman 81)
- Malam hari
Malam hari di sini
juga merupakan latar waktu ketika tokoh “aku”, Sensei dan Shizu makan malam di
rumah Sensei untuk merayakan kelulusan tokoh “aku” dari universitas.
“Malam itu aku duduk berhadapan
dengan...”(paragraf 4 halaman 83)
- Siang hari
Siang hari di sini
adalah ketika Sensei dan sahabatnya berjalan-jalan berdua ke luar rumah untuk
menghilangkan kejenuhan mereka.
“Berjalan demikian dalam panas terik tak
dapat...” (paragraf 2 halaman 220)
- Bulan Oktober
Di bulan ini, Sensei
memergoki Ojosan (Shizu) sedang berada di kamar K.
“Waktu itu sekitar
pertengahan Oktober kukira-aku bangn kesiangan...”(paragraf 1 halaman 226)
- Tahun baru
Tahun baru adalah
saat di mana Okusan engajak Ojosan, Sensei dam K untuk main kartu bersama
hingga larut malam.
“Tahun lama pun berakhir. Suatu hari dalam suasana
tahun baru” (paragraf 3
halaman 233)
6) GAYA
BAHASA / MAJAS
Gaya bahasa / majas
yang paling domina dan digunakan dalam novel ini adalah :
·
Majas Litotes
Gaya bahasa ini menggunakan kata-kata yang biasanya
merendahkan diri orang itu sendiri. Orang itu pun menggunakan majas ini dengan
unsur kesengajaan.
“Tetapi mesti kuakui
bahwa meski orang sesederhana seperti aku ini pun punya juga suatu pekerjaan”
(paragraf 6 halaman 110)
·
Majas Personifikasi
Gaya bahasa ini
mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat -sifat seperti
manusia.
“Kabar duka itu
menyentuh kami”(paragraf 8 halaman 126)
·
Majas Hiperbola
Gaya bahasa ini
digunakan dengan maksud untuk melebih-lebihkan suatu kondisi atau keadaan.
“Aku merasa
benar-benar sendiri di dunia ini” (paragraf 3 halaman 279)
7) SUDUT
PANDANG
Sudut
pandang yang dipakai oleh pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
pertama sebagai pengamat. Karena, pada novel ini, pengarang me-makai kata “aku”
untuk salah satu tokoh dalam cerita, sedangkan si pengarang sendiri menjadikan
tokoh “Sensei” sebagai pelaku utama dalam cerita.
Buktinya
:
“Penjelasan demikian,
begitulah aku cenderung berpendapat, sedikit banyak men-cakup pula pertautan
pikiran dalam jiwa Sensei tentang kesalahan karena cinta. Nmaun Sensei mengaku
padaku bahwa ia masih tetap mencintai isterinya. Sebab, dari pessimisme Sensei,
kalau demikian, tak dapat diusut secara beralasan pada hubungan mereka satu
sama lain. Agaknya pandangan Sensei yang bersikap mem-benci manusia, seperti
pernah dinyatakannya padaku, tertuju ke dunia modern pada umumnya, tetapi tidak
pada isteriny.” (paragraf 3 halaman 40)
B. UNSUR EKSTRINSIK NOVEL
1) NILAI
AGAMA
Nilai agama pada novel ini antara lain :
- · Adanya tulisan – tulisan pada makam seorang pemeluk agama Buddha.
Pada
novel ini, terdapat suatu nilai agama yaitu agama Buddha. Dalam agama buddha, ternyata orang
yang sudah wafat tetap dimakamkan dan diberi batu nisan yang berukirkan tulisan
seperti kutipan di bawah ini :
Buktinya :
...dan “Login, Hamba Tuhan”, terdapat batu
nisan dengan ukiran tulisan kaum Buddhis seperti “Segala yang hidup mengandung
hakekat Buddha dalam dirinya.” Ada sebuah batu nisan... (paragraf 9 halaman 15)
- · Adanya sikap menghargai kitab agama lain
Sudah
sepantasnyalah kita, umat manusia saling menghargai perbedaan yang ada dalam diri
tiap idividu. Semua agama di dunia telah mengajarkan agar pemeluknya bisa
menghargai agama yang dianut oleh orang lain dan juga bisa menghormati semua
kitab suci agama di dunia. Begitu pula ynag terdapat pada novel ini. K
digambarkan sebagai orang yang sangat menghargai kitab suci agama lain yaitu
ktab suci agama Islam dan Kristen.
Buktinya :
Aku juga melihat sebuah kitab injil di
kamarnya. Namun tak dapat kuingat kalau ia pernah menyebut-nyebut agama
Nasrani. K mengatakan bahwa wajar saja bila orang ingin membaca sebuah kitab
yang dihargai begitu tinggi oleh orang-orang lain. Ia menambahkan bahwa ia pun
ingin nenbac Qur’an bila ada kesempatan padanya. Agaknya, ia terutama tertarik
akan kata-kata “Muhammad dan pedang.” (paragraf 3 halaman 193)
- · Adanya pengaruh yang kuat terhadap kepribadian seseorang dari ajaran agama yang dianutnya
Disadari
atau pun tidak, pada hakikatnya kepribadian seseorang juga bisa dipengaruhi
oleh ajaran agama yang dianutnya dan sejauh mana ia berpegang teguh pada ajaran
tersebut. Semakin kuat ajaran-ajaran agama yang tertanam pada diri seseorang,
maka ia akan memiliki kepribadian yang identik dengan ajaran yang telah
tertanam pada dirinya tersebut. K yang dibesarkan di sebuah kuil pun tumbuh
dengan sifat yang identik dengan ajaran yang dianutnya.
Buktinya :
Dibesarkan di bawah pengaruh ajaran penganut
Buddha, agaknya ia memandang penghargaan terhadap kenikmatan kebendaan sebagai
semacam sifat yang tak bermoral. Juga setelah membaca riwayat-riwayat para
pendeta besar dan orang-orang suni Nasrani yang telah lama tiada, ia biasa
memandang badan dan jiwa sebagai satuan yang mesti terpisah. Sungguh, tampak
kadang-kadang ia berpen-dapat bahwa membuat badan menderita itu perlu demi
mengagungkan jiwa. (paragraf 3 halaman 203)
2)
NILAI MORAL
Nilai moral yang ada
pada novel ini antara lain :
- · Adanya rasa saling menghormati, apalagi kepada orang yang lebih tua daripada kita
Di dalam novel ini
tokoh “aku” digambarkan sebagai orang yang sangat hormat pada siapa pun yang
lebih tua darinya.
Buktinya :
Ia tersenyum masam
mendengar aku terus-menerus menyebut dia “Sensei,” dan aku yakin pada diriku,
ketika menjelaskan bahwa sudah menjadi kebiasaanku untuk menyebut demikian pada
orang yang lebih tua daripadaku. (paragraf 3 halaman 11)
- · Sikap pantang menyerah
Di
sini, pantang menyerah adalah suatu nilai moral yang dapat kita ambil dan
terapkan dalam kehidupan. Tokoh “aku” adalah orang yang tidak pernah menyerah
untuk mendekati Sensei.
Buktinya :
Sungguh, setiap kali aku merasa tersiksa,
lebih dari yang sudah-sudah aku pun ingin meneruskan persahabatan kami lagi.
(paragraf 1 halaman 13)
- · Adanya sikap sopan dalam berbicara dan dalam hal lain
Sikap
sopan dan santun sangatlah diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
begitu, kita akan disenangi oleh semua orang, seperti Shizu yang bersikap amat
sopan meskipun lawan bicaranya adalah seseorang yang lebih muda darinya.
Buktinya :
Amat sopan ia
mengatakan padaku ke mana kira-kira kepergian Sensei. (paragraf 2 halaman 14)
- · Malayani tamu dengan baik
Tamu adalah raja.
Maka, hormatilah tamu itu. Di dalam novel ini, nilai moral itu terdapat pada
diri Shizu. Ia melayani tamunya secara langsung, walaupun sebenarnya ia
memiliki seorang pembantu.
Buktinya :
“Yah, kalau begitu,
mari ke kamar duduk, kalau kau suka. Kubawakan kau sekedar teh, karena kukira
kau tentu saja merasa jemu. Dapat kau minum ini di sana.” (paragraf 1 halaman
43)
- · Bersikap terbuka pada orang lain
Adakalanya
kita harus bersikap terbuka pada orang lain. Karena mungkin saja kita akan
mendapatkan pemecahan yang bagus untuk masalah yang kita hada-pi. Begitu juga
Shizu yang mengungkapkan permasalahannyaberkaitan dengan Sensei pada orang yang
dianggapnya dekat dengan suaminya.
Buktinya :
Jadi, itulah rahasia
isteri Sensei yang selama bertahun – tahun ini disimpannya da-lam hati dengan
kesedihan yang lembut, dan yang dibukakannya padaku malam itu. (paragraf 4
halaman 49)
- · Berbakti pada orangtua
Pada
novel ini, berbakti pada orang tua adalah nilai moral yang dimiliki oleh tokoh
“aku”. Ia tulus dan ikhlas merawat ayahnya yang sedang sakit.
Buktinya
:
Dengan bantuan juru rawat, kuganti air dalam
bantalan karet itu dengan yang baru, dan kutaruh sebungkus potongan es yang
baru di dahinya. Kuletakkan itu pelan-pelan, sehingga ujung-ujung es yang tajam
itu tidak membuatnya sakit (paragraf 4 halaman 138)
- · Adanya sikap jujur dan berani
Kejujuran dan keberanian sangat dibutuhkan dalam hidup ini.
Kita tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa adanya
keberanian dan kejujuran. Begitu pula Sensei yang baru berani jujur pada Okusan
tentang perasaannya pada Ojosan setelah sekian lama menyembunyikan hal itu.
Padahal, Okusan sudah sangat menantikan hal tersebut.
Buktinya
:
Tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain bicara
langsung mengenai soalnya. “Okusan,’ kataku begitu terluncur saja,”Aku ingin mengawini
Ojosan”. Kemudian ia berkata dengan bersungguh-sungguh,”Sudahkah kau berpikir
tentang itu baik-baik? Sudah tetapkah hatimu?” Kuyakinkan dia dengan kata-kata
yang tak mengandung keraguan sedikit pun bahwa bahwa meskipun caraku
mengusulkan mungkin tampak tergesa-gesa, namun sudah begitu lama aku memikirkan
Ojosan.(paragraf 1 halaman 258)
3)
NILAI BUDAYA
Nilai budaya yang ada
dalam novel ini antara lain :
- · Masih adanya kawin paksa
Di
Jepang, sebelum adanya era modern Jepang, kawin paksa masih sangat marak di
kalangan masyarakat Jepang. Dalam novel ini, hal ini terjadi pada salah seorang
teman dari tokoh “aku”.
Buktinya :
...suatu ketika,
berlawanan dengan kehendaknya, orangtuanya mendesaknya untuk kawin dengan gadis
tertentu (paragraf 2 halaman 5)
- · Adanya penghormatan terhadap para pembesar negara yang telah wafat
Orang
Jepang sangat menghormati para pembesar di negaranya. Apabila orang tersebut
wafat, maka kehebohan tentang hal itu akan cepat menyebar. Seba-gai
penghormatan terakhir, maka ada suatu budaya di Jepang sepeti pada kutipan di
bawah ini :
Buktinya :
...ketika surat kabar memberitakan mangkatnya
Kaisar, ayahku berkata,”O! O!” Dan kemudian, “Sri Paduka mangkat akhirnya.Aku
pun...” Ayahku lalu terdiam.
Aku
pergi ke kota membeli kain hitan tanda berkabung. Kami menyalutkan sepotong
dari kain itu pada bulatan berwarna emas di ujung tiang bendera. Dari sepotong
yang lain kami membuat pita kira-kira tiga inci lebarnya dan menyan-gkutkannya
pada tiang itu dekat puncaknya. Aku keluar ke jalan dan memandang bendera dari
kain putih itu dengan lambang matahari terbit berwarna merah di tengahnya.
Bendera dan pita hitam yang berayun-ayun di sebelahnya terlihat jelas pada
dasar warna lalang itu yang kelabu dan kotor. (paragraf 5 dan 6 halaman 106)
- · Menjaga simbol-simbol kebudayaan, seperti alat musik
Sebagai
generasi penerus, sudah sepantasnya kita menjaga hasil kebuda-yaan yang ada di
daerah kita. Koto adalah suatu alat
musik yang khas di Jepang. Dan novel ini memberikan pembacanya suatu nilai budaya
agar kita selalu meme-lihara simbol-simbol kebudayaan yang ada di daerah kita.
Buktinya :
koto itu ternyata sudah ada di sana
selama ini. Maka, aku pun akan duduk pula di depan meja tulisku sambil
bertopang dagu, mendengarkan suara koto
itu. (paragraf 2 halaman 170)
- · Perlunya melestarikan atau setidak-tidaknya mengunjungi tempat-tempat peninggalan budaya
Pada
hari ini, sudah sangat jarang sekali generasi muda yang mau mengun-jungi
tempat-tempat bersejarah dan penting. Namun, novel ini telah menanamkan suatu
nilai pada kita untuk kembali mengunjungi tempat penting tersebut.
Buktinya :
Rupanya ia lebih suka berpikiran tentang
Nichiren. K mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Pendeta Ketua. Para
Pendeta, kuketahui, pada umumnya lebih ramah dari yang mungkin kita kira. Kami
disambut oleh Pendeta Ketua. K menga-jukan banyak pertanyaan padanya tentang
Nichiren. (paragraf 1 halaman 221)
- · Tataan rambut wanita Jepang
Sebelum adanya era moderen di Jepang, para wanita Jepang
memiliki suatu tradisi tersendiri dalam penataan rambutnya.
Buktinya :
Kaum wanita tak menata rambut menutupi dahi,
tetapi memilinnya berlingkar-lingkar di atas kepala.(paragraf 1 halaman 229)
- · Permainan tradisional yang tetap ada
Pada
noveel ini, diceritakan bahwa ada suatu tradisi yang dilakukan oleh orang
Jepang ketika tahun baru datang
Buktinya :
Suatu hari, dalam suasana Tahun Baru, Okusan
mengatakan bahwa kami mesti main kartu. Aku berkata padanya. Aku berkata
padanya,” Tidakkah kau tahu sajak-sajak
Hyakunin Isshu?” “Tidak begitu tahu,” jawabnya. (paragraf 2 halaman 233)
- · Adanya keyakinan seperti cara tidur yang baik
Di
Jepang, ada suatu keyakinan tentang cara tidur yang baik, yaitu tidur dengan
kaki melunjur ke arah timur.
Buktinya :
Aku tak tahu kekuatan aneh manakah yang bekerja
padaku malam itu, aku memu-tuskan malam itu untuk mengatur alas tidurku agar
kakiku dapat melunjur ke timur. Berbaring dengan kaki melunjur ke barat- yakni
ke arah Negeri Suci di mana si mati tinggal- akan membawa sial.(paragraf 5
halaman 265)
- · Adanya acara pembakaran dupa untuk orang yang telah wafat
Pembakaran
dupa untuk orang yang telah meninggal, sampai sekarang pun tetap menjadi
tradisi yang dilakukan oleh para penganut agama Buddha.
Buktinya :
Tanpa berkata-kata aku duduk di sisi kedua
wanita itu. “Bakarlah dupa,” kata Okusan.
Kuturuti perintahnya dengan diam.
(paragraf 4 halaman 271)
4) NILAI
SOSIAL
Nilai sosial yang ada
pada novel ini antara lain :
·
Saling
menolong
Sampai
hari ini pun tolong menolong masih ada dalam masyarakat, namun frekuensinya
sudah berkurang. Pada novel ini, Sensei mau meminjamkan uangnya pada tokoh
“aku” agar ia bisa kembali ke kampung halamannya untuk memenuhi permintaan
ibunya.
Buktinya :
Kukeluarkan surat Ibu, lalu aku pun
minta pinjaman padanya.
“Tentu saja,” katanya, “kalau hanya
itu yang kaubutuhkan, pasti kami dapat memberimu sekarang juga.” (paragraf 4
dan 5 halaman 55)
·
Menjenguk
teman yang sedang sakit
Bila
ada teman yang sakit, memang sudah seharusnya kita menjenguknya untuk
menghiburnya danmeringankan penderitaannya. Seperti itu juga yang terjadi pada
ayah dari tokoh “aku” yang dijenguk oleh temannya yang rela datang dari tempat
yang jauh untuk menjenguk beliau.
Buktinya :
Ketika seorang
temannya di masa kanak yang biasa kami panggil Saku-san dan yang tinggal kira-kira
tiga mil jauhnya dari kami datang menjenguknya, ia mema-lingkan mata yang tak
berseri lagi kepada kawannya itu dan berkata, “O, kaukah itu, Saku-san?”
(paragraf 2 halaman 129)
·
Adanya
rasa kekeluargaan
Rasa kekeluargaan itu
amat penting dalam kehidupan manusia.
Buktinya
:
Bagaimanapun juga,
bila aku datang, ia dan seluruh keluarganya tinggal di rumah-ku. Mereka semua
senang bertemu dengan aku. Aku pun senang pula, karena ru-mah itu menjadi
tempat yang ramai; jauh lebih ramai ketimbang waktu orangtuaku masih hidup.
(paragraf 1 halaman 155)
PERBEDAAN
ANTARA NOVEL INDONESIA
DENGAN NOVEL
TERJEMAHAN
Novel
Indonesia yang penulis ambil sebagai bahan untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan antara novel Indonesia dengan novel Terjamahan adalah “Surat Kecil
untuk Tuhan” karya Agnes Davonar.
A.PERBEDAAN NOVEL INDONESIA DENGAN NOVEL
TERJEMAHAN
·
Bahasa yang
digunakan dalam kedua novel berbeda. Novel Indonesia tersebut
cenderung menggunakan bahasa yang
mudah untuk dipahami, sedangkan novel
terjemahan menggunakan bahasa yang
agak sulit untuk dipahami.
·
Sudut pandang penulis kedua
novel berbeda. Novel Indonesia menggunakan
sudut pandang orang pertama
sebagai pelaku utama, sedangkan
novel terjemahan menggunakan sudut pandang orang pertama
sebagai pengamat.
·
Latar tempat yang digunakan pada
kedua novel berbeda. Novel Indonesia menggunakan daerah Indonesia sebagai latar
tempatnya, sedangkan novel terjemahan menggunakan daerah di Tokyo sebagai latar
tempat untuk ceritanya.
·
Majas yang digunakan pada kedua
novel berbeda. Novel Indonesia hanya menggunakan majas personifikasi, sedangkan
novel terjemahan menggunakan majas personifikasi, litotes dan hiperbola.
·
Nilai agama yang dikemukakan dalam
kedua novel berbeda. Novel Indonesia mengemukakan nilai agama yang identik
dengan Islam, sedangkan novel terjemahan menggunakan nilai agama yang identik
dengan Buddha.
B.
PERSAMAAN ANTARA NOVEL INDONESIA DENGAN NOVEL TERJEMAHAN
Persamaan
pada kedua novel hanyalah pada jalancerita,
yaitujalanceritayang memiliki alur maju.
PENUTUP
Setelah
membaca novel Rahasia Hati Karya Natsume Koseki, penulis merasa bahwa cerita
dalam novel ini sangatlah bagus dan menarik untuk dibaca. Penulis sangat
terkesan pada novel ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini, baik itu tersirat maupun tersurat sungguh sangat luar biasa. Konflik
yang dialami oleh tokoh dalam novel ini benar-benar sangat menyentuh. Novel
ini memang sangat pantas dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar