Senin, 30 Desember 2013

Analisis Novel Rahasia Hati ( Part II )


4)  PENOKOHAN / PERWATAKAN
a.          Aku yang berwatak :

q  Pencemas
Aku sangat cemas ketika ia tak sengaja mendengar pertikaian antara Sensei dan isterinya. Selama ini ia manganggap bahwa kehidupan rumah tangga Sensei adalah sebuah kehidupan yang berjalan dengan sangat harmonis. Namun, pada malam itu, yang ia dengar adalah suara Sensei yang walaupun tiak terlalu tinggi, namun terdengar sangat marah. Sementara itu di sisi lain, ia mendengar suara seorang wanita yang sedang menangis. Ia hanya bisa berdiri di depan rumah Sensei tanpa bisa melakukan apa pun. Lalu, ia kembali ke pondokannya dan sangat mencemaskan nasib sepasang suami isteri itu.
Buktinya:
“Kecemasan yang amat sangat memenuhi hatiku. Kucoba membaca, tetapi kurasa bahwa aku tak dapat memusatkan pikiran” (paragraf 2 halaman 25)


q   Peduli
Ia begitu peduli pada semua orang, dan hal ini terlihat ketika ia bersedia mendengar keluhan isteri Sensei yang merasa seolah menjadi bagian dari dunia yang dibenci Sensei. Isteri Sensei sampai manangis ketika ia menceritakan semua itu pada tokoh “aku”. Sebagai orang yang begitu peduli pada orang lain, ia berusaha semampunya untuk menghibur isteri Sensei.
Buktinya:
“Aku berusaha sedapat-dapatnya untuk menghibur isteri Sensei. Dan tampak bahwa ia pun berusaha mendapatkan suatu pelipur kalau ada bersamaku” (paragraf 7 halaman 51)

q  Berbakti kepada orang tua
Tokoh “aku” adalah orang yang sangat berbakti pada kedua orang tuanya. Walaupun ada kalanya ketika ia merasa agak sedikit kesal pada orang tuanya yang terus memaksanya untuka mengadakan syukuran atas kelulusannya, namun ia tidak sampai menunjukkan perasaannya itu secara terang-terangan. Sebisa mung-kin ia berusaha menjaga hati kedua orang tuanya. Selain itu, ia juga merawat ayah-nya dengan sangat ikhlas  ketika ayahnya sedang terbaring sakit.
Buktinya:
“Dengan bantuan juru rawat, kuganti air dalam bantalan karet itu dengan yang baru, dan kutaruh sebungkus potongan es yang baru di dahinya. Kuletakkan itu pelan-pelan, sehingga ujung-ujung es yang tajam itu tidak membuatnya sakit” (paragraf 3 halaman 138)

b.         Sensei yang berwatak :

v Suka menyendiri
Sensei tidak pernah begitu menyukai keramaian. Ia sangat membenci dirinya dan seluruh manusia. Ia lebih memilih kesendirian dan kesunyian yang menemani hidupnya. Ia tidak memiliki lagi kepercayaan pada seseorang.
 Buktinya:
  “Sensei pun selalu sendiri”(paragaraf 1 halaman 10)
          v Pendiam
Sensei adalah orang yang pendiam, kalaupun ia berbicara, ia hanya membi-carakan sesuatu yang maknanya sulit dimengerti. Sejak semula, sifat Sensei ini memang aneh dan Sensei adalah orang yang tidak mudah didekati, namun, sifat inilah yang membuat tokoh “aku” semakin ingin mengenal Sensei.
Buktinya:
“Namun demikian, tak ada perubahan besar pada tingkah laku Sensei terha-dapku. Ia selalu pendiam. Kadang-kadang ia tampak begitu pendiam sehingga lebih tepat kiraku kalau dikatakan ia merasa sunyi” (paragraf 14 halaman 17)

               v Pesimis
Sensei adalah orang yang sangat pesimis. Hal ini terbukti ketika ia menolak untuk membimbing tokoh “aku” saat tokoh “aku” berusaha meminta bantuan Sensei untuk menyelesaikan thesisnya. Padahal menurut isterinya, Sensei adalah orang yang suka membaca dahulunya, namun kali itu ia tidak lagi tertarik pada ratusan buku yang berjejer di ruangannya. Ia merasa tidak ada gunanya lagi membaca buku itu, karena ia tidak akan pernah menjadi lebih baik dari keadaannya yang sekarang.
Buktinya:
“’Tak ada sebab tertentu...Yah, barangkali karena aku berpendapat bahwa berapa pun juga buku kubaca, namun aku tak akan menjadi orang yang lebih baik dari keadaanku yang sekarang.” (paragraf 3 halaman 65)

               v Memiliki motivasi hidup yang rendah
Sensei merasa ia adalah orang yang tidak akan berguna jika ia terus hidup, ia merasa tidak  sanggup untuk menanggung dosa-dosa yang telah ia lakukan. Walaupun tidak jelas apa sebenarnya kesalahan yang telah ia lakukan. Sensei tidak lagi begitu tertarik pada dunia yang ada di sekitarnya.
Buktinya:
“Ketika keinginan akan hukuman ini menjadi begitu kuat, aku pun mulai merasa bahwa  hukuman itu mestinya datang dari diriku sendiri, dan bukan dari orang lain. Aku pun berpikir tentang mati. Bunuh diri agaknya suatu hukuman yang tepat bagi dosa-dosaku” (paragraf 2 halanman 282)

c.          Shizu / Ojusan (isteri Sensei) yang berwatak :
Ø Penurut dan patuh
Shizu adalah orang yang sangat penurut dan patuh terutama kepada sua-minya. Hal ini terbukti ketika ia segera melaksanakan apa pun yang diminta oleh suaminya. Sehingga tokoh “aku” pun berpendapat bahwa ia memang orang yang sangat patuh dan penurut.
Buktinya:
“Dan tingkah laku isterinya,bila muncul, tampak selalu penurut dan patuh” (paragraf 7 halaman 24)

Ø  Polos dan kekanak-kanakan
Shizu adalah orang yang sangat polos dan kekanak-kanakan. Terbukti ketika ia menerima oleh-oleh dari tokoh “aku”. Dia mengucapkan terma kasih dengan sopan. Ketika ia kan pergi ke ruengan lain di rumahnya, ia mungkin he-
ran karena ringannya oleh-oleh itu. Ia pun menanyakan kue apa yang dibawa
oleh tokoh ”aku” dengan polosnya dan dengan sikap yang agak kekanak-kanakan.
Buktinya:
“Makin akrab kita dengan isteri Sensei, makin sering rasanya ia memper-lihatkan segi yang polos dan kekanak-kanakan pada wataknya” (paragraf 1 halaman 62)

Ø  Sopan
Kesopanan dari seorang Shizu terlihat ketika ia berterima kasih pada tokoh  “aku” ketika ia menerima oleh-oleh dari tokoh “aku”.
“Isteri Sensei mengucapkan terima kasih padaku dengan sopan, dan memungut kotak itu ketika ia bangkit hendak pergi ke kamar sebelah’ (paragraf 1 halaman 62)

Ø Percaya Diri
Shizu muda adalah orang yang sangat percaya diri. Ia sering ke kamar Sensei muda ketika ia disuruh oleh ibunya. Ia  suka duduk mengobrol dengan Sensei, padahal ia adalah seorang gadis. Namun, ia begitu santai sehingga  Sensei muda pun bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Buktinya:
“Sesungguhnyalah, dia tampak begitu percaya pada dirinya sendiri se-hingga aku pun bertanya dalam hati” (paragraf 1 halaman 177)

d.         Ibu yang berwatak :

Perhatian
Ibu  tokoh “aku” sangat perhatian pada anaknya. Ia memperhatikan seluruh anaknya. Dan ketika ia mendapati anaknya masih belum istirahat di waktu malam, ia meminta anaknya untuk beristirahat. Inilah bukti bahwa seorang ibu memang sangat memperhatikan anaknya.
Buktinya:
“Ibuku mendapatkan aku duduk di antara buku-buku yang berserakan.’Mengapa kau tak tidur sejenak?’ katanya, ‘Kau tentu letih’” (paragraf 3 halaman 122)

Pencemas
Sebagai seorang isteri, pastilah ia sangat cemas melihat kesehatan suaminya yang semakin memburuk. Ia begitu setia menjaga suaminya. Ketika suaminya tidak lagi mengenalnya dan selalu menggigaukan hal-hal yang tidak jelas, kecemasannya pun semakin menjadi-jadi.
Buktinya:
“Waktu ia mengatakan demikian, ibuku jadi agak cemas dan meminta kami berkumpul di sekeliling ranjangnya” (paragraf 5 halaman 136)

e.          Ayah yang berwatak :

o Tegar / tabah
Walaupun ia tahu bahwa penyakit yang dideritanya bukanlah penyakit biasa, ia tetap tidak ingin membuat keluarganya kerepotan. Ia begitu tabah dan tegar menghadapi penyakit gagal ginjalnya.
Buktinya:
“Sudah jelas bahwa ayahku merasa khawatir akan penyakitnya. Tetapi ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya dalam hatinya, dan kapan saja dokter datang, ia tak menyusahkannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak berarti” (paragraf 1 halaman 111)

o  Keras kepala
Sikap keras kepala yang dimiliki oleh ayah tidak lain bertujuaan agar keluarganya tidak terlalu mencemaskan kondisinya. Ia tidak ingin keluarganya merasa sedih melihatnya dengan kondisi yang kian memburuk tersebut


Buktinya:
“Ia tak mau mendengarkan kami bila kami mengingatkan padanya agar jangan terlampau banyak makan” (paragraf 2 halaman 118)

f.           Abang yang berwatak :

Ø      Peduli
Walaupun sudah tinggal jauh dari rumahnya, abang tokoh “aku” adalah orang yang tetap peduli pada keluarganya. Terbukti ketika ia menanyakan apa saja rencana adiknya yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di universitas.
Buktinya:
“’Apa saja rencanamu buat masa depan?’ tanya abangku. Aku menjawabnya dengan pernyataanku sendiri.” (paragraf 1 halaman 133)

Ø  Ambisius
Sifat ambisius tokoh “abang” ini terlihat ketika ia menolak untuk tinggal di rumah keluarganya bila nanti ayahnya meninggal karena ia sangat berambisi dengan pekerjaannya saat itu. Ia yakin bahwa pekerjaannya itu akan membawa hasil yang sangat luar biasa.
Buktinya:
“Abangku yang penuh ambisi itu, kutahu, begitu yakin bahwa jabatannya yang menjanjikan harapan baik itu baru saja mulai” (paragraf 5 halaman 135)

g.          Paman yang berwatak :

      Penipu dan Licik
            Sifat penipu dan licik si Paman terlihat ketika ia mulai berubah sikap saat Sensei pulang ke rumahnya. Setelah menyelidiki semua keanehan yang terjadi di rumahnya, barulah Sensei tahu bahwa pamannya telah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh Sensei padanya. Haampir semua barang koleksi antik almarhum ayahnya telah dijual oleh pamannya untuk kepentingan si P aman itu sendiri. Begitu juga dengan beberapa surat tanah dan surat penting lainnya yang seharusnya menjadi milik Sensei.


Buktinya:
“Pendeknya, pamanku menipu aku tentang warisan itu. Ia dapat melakukan itu tanpa banyak kesulitan selama tiga tahun di Tokyo. Aku begitu lugu telah menyerahkan segala sesuatu dengan penuh kepercayaan untuk diurus pamanku.”(paragraf 2 halaman 163)

h.          Okusan yang berwatak :

*   Baik
Hal di atas terbukti ketika ia dengan sopannya dan dengan terbukanya menerima Sensei untuk tinggal bersamanya dan anak gadisnya di rumahnya.
Buktinya:
“Setelah memastikan bahwa ibunya seorang isteri yang baik dari seorang tentara...” (paragraf 1 halaman 171)

*    Bijak
Okusan bersikap begitu bijaknya ketika ia berubah sikap pada Sensei. Karena sebenarnya ia berharap Sensei mau melamar anaknya. Namun, Sensei malah menunjukkan sikap yang tidak jelas.
Buktinya:
“Okusan seorang wanita yang bijak juga, dan mungkin bahwa ia bersi-
kap demikian karena ia tahu perasaanku” (paragraf 2 halaman 175)

*    Perhatian
Okusan menyuruh Sensei agar mau membeli baju baru. Karena, dari pengamatan Okusan sendiri, ia melihat Sensei sebagai orang yang tergila-gila
pada buku sementara Sensei tidak begitu memperatikan kebutuhan primernya.
Buktinya:
“Melihat aku tak membeli apa pun selain buku-buku, Okusan mengatakan bahwa hendaknya aku membeli untukku sendiribeberapa pakaian baru.” (paragraf 3 halaman 184)





i.           K yang berwatak :

v  Tekun
Sifat K yang tekun ini lahir dari tekadnya untuk menjadi orang besar suatu saat nanti. Ia yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kuil, tumbuh menjadi seorang yang tekun dalam segala hal.
Buktinya:
“Sungguh, K amat tekun. Dilahirkan di sebuah kuil.” (paragraf 2 halaman 191)

v  Sentimentil
Setelah pengangkatannya sebagai seorang anak angkat dari sebuah keluarga ditarik kembali, ia menjadi agak tertekan. Tekanan jiwa ini dicemaskan akan mempengaruhi kejiwaan K. Ternyata hal ini terbukti dengan perubahan sikapnya yan menjadi semakin sentimentil.
Buktinya:
“...perselisihan kecil yang mengawali keputusannya untuk meninggalkan keluarga angkatnya ada meninggalkan bekas padanya. Ia jadi bertambah-tambah sentimentil, dan kadang-kadang ia...” (paragraf 4 halaman 199)

v  Keras Hati
Hal di atas terbukti  ketika ia tidak mau mendengarkan nasehat dari Sensei agar K mau sedikit santai dalam melakukan pekerjaannya. Padahal ketika itu, Sensei sangat mencemaskan kesehatan K. Namun k memang orang yang keras hati.
Buktinya:
“Mengetahui watak K yang keras hati, aku tak berharap akan melihat tugasku itu” (paragraf 2 halaman 200)

v  Tak perasa
Di dalam novel Rahasia Hati ini diceritakan bahwa sifat K yang tak perasa  ini sangat mengganggu Sensei. K tampak sama sekali tak sadar akan cinta Sensei kepada Shizu. Dalam perkara seperti itu, K memang orang yang tidak peka sama sekali.



Buktinya:
“Dan mesti kuakui karena aku sadar akan sifat K yang tak perasa inilah maka aku pun kurang enggan ketimbang keharusan bagiku untuk menga-jaknya tinggal bersama kami” (paragraf 1 halaman 217)

5)  LATAR / SETTING

A.    Latar Tempat

  •     Karamakura
Kamakura merupakan tempat yang paling berkesan bagi tokoh “aku” karena di tempat itulah ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Sensei.
Buktinya:
   Di Kamakuralah, dalam liburan musim...(paragraf 2 halaman 5)


  
  •     Tokyo
Kota Tokyo merupakan latar tempat utama dalam novel ini. Rumah Sensei ada di daerah Tokyo dan tokoh “aku” juga kuliah di Tokyo. Buktinya :
   “Aku kembali ke Tokyo pada akhir...”(paragraf 2 halaman 12)

  •     Zoshigaya
Wilayah pemakaman di Zoshigaya merupakan salah satu latar tempat dalam novel ini. Di tempat inilah, K dikuburkan dan Sensei melakukan ziarah ke makam itu paling tidak sekali dalam sebulan. Buktinya :
   “Hari itu di Zoshigaya ketika aku memanggilnya”(paragraf 4 halaman 19)

  •     Ueno
Ueno merupakan tempat yang digunakan oleh pengarang ketika Sensei
dan tokoh “aku” pergi berjalan-jalan ke Ueno untuk melihat perayaan musim bunga ketika itu. Buktinya :
   “Sensei dan aku pergi ke Ueno.”(paragraf 2 halaman 33)

B.    Latar  Suasana

  •     Mengecewakan
Suasana dalam cerita ini terasa mengecewakan ketika Sensei tidak begitu mempedulikan perasaan “aku”. Saat itu tokoh “aku” sudah sangat berharap bahwa mungkin ia dan Sensei sudah pernah berkenalan sebelumnya. Namun jawaban dari Sensei tdak membuatnya merasa bahagia, malahan ia merasa sangat kecewa pada kenyataan yangdidapatinya.
Buktinya:
“’Tak dapat kuingat bahwa aku telah bertemu dengan kau sebelum ini. Tidakkah kau keliru?’ Dan aku pun merasa sangat kecewa lagi”(paragraf 1 halaman 12)

  •     Menyenangkan
Suasana dalam novel ini terasa menyenangkan ketika Sensei dan tokoh “aku” memuji Sensei dengan mengatakan bahwa sesungguhnya ia mendapat banyak manfaat dari kedekatannya dengan Sensei. Untuk saat itu, Sensei dan tokoh “aku” terasa sebagai orang yang meman sangat dekat sekali.
Buktinya:
“Sensei tertawa, dan aku pun berkata, ‘Aku tak begitu merasa risau, kalau kupikir kau orang yang terlalu...”(paragraf 2 halaman 80)

  •     Menyedihkan
Suasana dalam novel ini menyedihkan terutama ketika K tewas bunuh diri. Sensei, Okusan dan Shizu begitu terpukul dengan hal tersebut. Mereka tidak me-nyangka sama sekali bahwa pada malam itu K bunuh diri. Sampai acara pemaka-man dilaksanakan pun, tangisan mengalir tiada henti dari kedua wanita itu, semen-tara Sensei hanya bisa diam terpaku pada nasib yang akan membayanginya di masa depan.
Buktinya :
“Kedua wanita itu duduk dalam kabut dupa itu. Kini Okusan menangis. Ojosan tentu menangis pula,. Hatiku, yang hingga saat itu merasa dibelenggu kepedihan dan kesedihan luar biasa.” (paragraf 3 halaman 271)



C.    Latar  Waktu

  •   Musim panas
Musim panas adalah saat Sensei dan tokoh “aku” bertemu untuk pertama kalinya.
“Di Kamakuralah, dalam liburan musim panas...”(paragraf 2 halaman 5)
  •   Sore hari
Sore hari di sini adalah ketika tokoh “aku” dan Sensei berbincang-bincang di pantai.
“Petang itu, aku mengunjungi...”(paragraf 5 halaman 11)
  •   Musim dingin
Di saat musim dingin ini, tokoh “aku” berpamitan pada Sensei dan isterinya karena dia harus pulang ke kampung halamannya. Saat itu ayahnya sedang sakit.
            “Pada musim dingin itu, aku harus pulang” (paragraf 6 halaman 53)
  Hari upacara peresmian kelulusan
Hari upacara peresmian kelulusan adalah saat “aku”, Sensei dan Shizu makan bersama untuk merayakan prestasi tokoh “aku” di rumah Sensei.
            “Pada hari upacara kelulusan itu, kukeluarkan pakaian seragam...” (paragraf 6
halaman 81)
  •   Malam hari
Malam hari di sini juga merupakan latar waktu ketika tokoh “aku”, Sensei dan Shizu makan malam di rumah Sensei untuk merayakan kelulusan tokoh “aku” dari universitas.
“Malam itu aku duduk berhadapan dengan...”(paragraf 4 halaman 83)
  •   Siang hari
Siang hari di sini adalah ketika Sensei dan sahabatnya berjalan-jalan berdua ke luar rumah untuk menghilangkan kejenuhan mereka.
“Berjalan demikian dalam panas terik tak dapat...” (paragraf 2 halaman 220)
  •   Bulan Oktober
Di bulan ini, Sensei memergoki Ojosan (Shizu) sedang berada di kamar K.
“Waktu itu sekitar pertengahan Oktober kukira-aku bangn kesiangan...”(paragraf 1 halaman 226)
  •   Tahun baru
Tahun baru adalah saat di mana Okusan engajak Ojosan, Sensei dam K untuk main kartu bersama hingga larut malam.
“Tahun  lama pun berakhir. Suatu hari dalam suasana tahun baru” (paragraf 3
halaman 233)

6)  GAYA BAHASA / MAJAS

Gaya bahasa / majas yang paling domina dan digunakan dalam novel ini adalah :
·         Majas Litotes
Gaya bahasa ini  menggunakan kata-kata yang biasanya merendahkan diri orang itu sendiri. Orang itu pun menggunakan majas ini dengan unsur kesengajaan.
“Tetapi mesti kuakui bahwa meski orang sesederhana seperti aku ini pun punya juga suatu pekerjaan” (paragraf 6 halaman 110)
·         Majas Personifikasi
Gaya bahasa ini mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat -sifat seperti manusia.
“Kabar duka itu menyentuh kami”(paragraf 8 halaman 126)
·         Majas Hiperbola
Gaya bahasa ini digunakan dengan maksud untuk melebih-lebihkan suatu kondisi atau keadaan.
“Aku merasa benar-benar sendiri di dunia ini” (paragraf 3 halaman 279)

7)  SUDUT PANDANG

Sudut pandang yang dipakai oleh pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama sebagai pengamat. Karena, pada novel ini, pengarang me-makai kata “aku” untuk salah satu tokoh dalam cerita, sedangkan si pengarang sendiri menjadikan tokoh “Sensei” sebagai pelaku utama dalam cerita.
Buktinya :
“Penjelasan demikian, begitulah aku cenderung berpendapat, sedikit banyak men-cakup pula pertautan pikiran dalam jiwa Sensei tentang kesalahan karena cinta. Nmaun Sensei mengaku padaku bahwa ia masih tetap mencintai isterinya. Sebab, dari pessimisme Sensei, kalau demikian, tak dapat diusut secara beralasan pada hubungan mereka satu sama lain. Agaknya pandangan Sensei yang bersikap mem-benci manusia, seperti pernah dinyatakannya padaku, tertuju ke dunia modern pada umumnya, tetapi tidak pada isteriny.” (paragraf 3 halaman 40)


   B. UNSUR EKSTRINSIK NOVEL
1)  NILAI AGAMA

Nilai agama pada novel ini antara lain :

  • ·         Adanya tulisan – tulisan pada makam seorang pemeluk agama Buddha.
Pada novel ini, terdapat suatu nilai agama yaitu agama  Buddha. Dalam agama buddha, ternyata orang yang sudah wafat tetap dimakamkan dan diberi batu nisan yang berukirkan tulisan seperti kutipan di bawah ini :
Buktinya :
 ...dan “Login, Hamba Tuhan”, terdapat batu nisan dengan ukiran tulisan kaum Buddhis seperti “Segala yang hidup mengandung hakekat Buddha dalam dirinya.” Ada sebuah batu nisan... (paragraf 9 halaman 15)

  • ·         Adanya sikap menghargai kitab agama lain
Sudah sepantasnyalah kita, umat manusia saling menghargai perbedaan yang ada dalam diri tiap idividu. Semua agama di dunia telah mengajarkan agar pemeluknya bisa menghargai agama yang dianut oleh orang lain dan juga bisa menghormati semua kitab suci agama di dunia. Begitu pula ynag terdapat pada novel ini. K digambarkan sebagai orang yang sangat menghargai kitab suci agama lain yaitu ktab suci agama Islam dan Kristen.
Buktinya :
 Aku juga melihat sebuah kitab injil di kamarnya. Namun tak dapat kuingat kalau ia pernah menyebut-nyebut agama Nasrani. K mengatakan bahwa wajar saja bila orang ingin membaca sebuah kitab yang dihargai begitu tinggi oleh orang-orang lain. Ia menambahkan bahwa ia pun ingin nenbac Qur’an bila ada kesempatan padanya. Agaknya, ia terutama tertarik akan kata-kata “Muhammad dan pedang.” (paragraf 3 halaman 193)





  • ·         Adanya pengaruh yang kuat terhadap kepribadian seseorang dari ajaran agama yang dianutnya
Disadari atau pun tidak, pada hakikatnya kepribadian seseorang juga bisa dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya dan sejauh mana ia berpegang teguh pada ajaran tersebut. Semakin kuat ajaran-ajaran agama yang tertanam pada diri seseorang, maka ia akan memiliki kepribadian yang identik dengan ajaran yang telah tertanam pada dirinya tersebut. K yang dibesarkan di sebuah kuil pun tumbuh dengan sifat yang identik dengan ajaran yang dianutnya.
Buktinya :
 Dibesarkan di bawah pengaruh ajaran penganut Buddha, agaknya ia memandang penghargaan terhadap kenikmatan kebendaan sebagai semacam sifat yang tak bermoral. Juga setelah membaca riwayat-riwayat para pendeta besar dan orang-orang suni Nasrani yang telah lama tiada, ia biasa memandang badan dan jiwa sebagai satuan yang mesti terpisah. Sungguh, tampak kadang-kadang ia berpen-dapat bahwa membuat badan menderita itu perlu demi mengagungkan jiwa. (paragraf 3 halaman 203)

2)                NILAI MORAL

Nilai moral yang ada pada novel ini antara lain :

  • ·         Adanya rasa saling menghormati, apalagi kepada orang yang lebih tua daripada kita
Di dalam novel ini tokoh “aku” digambarkan sebagai orang yang sangat hormat pada siapa pun yang lebih tua darinya.
Buktinya :
Ia tersenyum masam mendengar aku terus-menerus menyebut dia “Sensei,” dan aku yakin pada diriku, ketika menjelaskan bahwa sudah menjadi kebiasaanku untuk menyebut demikian pada orang yang lebih tua daripadaku. (paragraf 3 halaman 11)

  • ·         Sikap pantang menyerah
Di sini, pantang menyerah adalah suatu nilai moral yang dapat kita ambil dan terapkan dalam kehidupan. Tokoh “aku” adalah orang yang tidak pernah menyerah untuk mendekati Sensei.
Buktinya :
 Sungguh, setiap kali aku merasa tersiksa, lebih dari yang sudah-sudah aku pun ingin meneruskan persahabatan kami lagi. (paragraf 1 halaman 13)

  • ·         Adanya sikap sopan dalam berbicara dan dalam hal lain
Sikap sopan dan santun sangatlah diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, kita akan disenangi oleh semua orang, seperti Shizu yang bersikap amat sopan meskipun lawan bicaranya adalah seseorang yang lebih muda darinya.
Buktinya :
Amat sopan ia mengatakan padaku ke mana kira-kira kepergian Sensei. (paragraf 2 halaman 14)

  • ·         Malayani tamu dengan baik
Tamu adalah raja. Maka, hormatilah tamu itu. Di dalam novel ini, nilai moral itu terdapat pada diri Shizu. Ia melayani tamunya secara langsung, walaupun sebenarnya ia memiliki seorang pembantu.
Buktinya :
“Yah, kalau begitu, mari ke kamar duduk, kalau kau suka. Kubawakan kau sekedar teh, karena kukira kau tentu saja merasa jemu. Dapat kau minum ini di sana.” (paragraf 1 halaman 43)

  • ·         Bersikap terbuka pada orang lain
Adakalanya kita harus bersikap terbuka pada orang lain. Karena mungkin saja kita akan mendapatkan pemecahan yang bagus untuk masalah yang kita hada-pi. Begitu juga Shizu yang mengungkapkan permasalahannyaberkaitan dengan Sensei pada orang yang dianggapnya dekat dengan suaminya.
Buktinya :
Jadi, itulah rahasia isteri Sensei yang selama bertahun – tahun ini disimpannya da-lam hati dengan kesedihan yang lembut, dan yang dibukakannya padaku malam itu. (paragraf 4 halaman 49)

  • ·         Berbakti pada orangtua
Pada novel ini, berbakti pada orang tua adalah nilai moral yang dimiliki oleh tokoh “aku”. Ia tulus dan ikhlas merawat ayahnya yang sedang sakit.

Buktinya :
 Dengan bantuan juru rawat, kuganti air dalam bantalan karet itu dengan yang baru, dan kutaruh sebungkus potongan es yang baru di dahinya. Kuletakkan itu pelan-pelan, sehingga ujung-ujung es yang tajam itu tidak membuatnya sakit (paragraf 4 halaman 138)

  • ·         Adanya sikap jujur dan berani
Kejujuran dan keberanian sangat dibutuhkan dalam hidup ini. Kita tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa adanya keberanian dan kejujuran. Begitu pula Sensei yang baru berani jujur pada Okusan tentang perasaannya pada Ojosan setelah sekian lama menyembunyikan hal itu. Padahal, Okusan sudah sangat menantikan hal tersebut.
Buktinya :
 Tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain bicara langsung mengenai soalnya. “Okusan,’ kataku begitu terluncur saja,”Aku ingin mengawini Ojosan”. Kemudian ia berkata dengan bersungguh-sungguh,”Sudahkah kau berpikir tentang itu baik-baik? Sudah tetapkah hatimu?” Kuyakinkan dia dengan kata-kata yang tak mengandung keraguan sedikit pun bahwa bahwa meskipun caraku mengusulkan mungkin tampak tergesa-gesa, namun sudah begitu lama aku memikirkan Ojosan.(paragraf 1 halaman 258)

3)                    NILAI BUDAYA

Nilai budaya yang ada dalam novel ini antara lain :

  • ·         Masih adanya kawin paksa
Di Jepang, sebelum adanya era modern Jepang, kawin paksa masih sangat marak di kalangan masyarakat Jepang. Dalam novel ini, hal ini terjadi pada salah seorang teman dari tokoh “aku”.
Buktinya :
...suatu ketika, berlawanan dengan kehendaknya, orangtuanya mendesaknya untuk kawin dengan gadis tertentu (paragraf 2 halaman 5)

  • ·         Adanya penghormatan terhadap para pembesar negara yang telah wafat
Orang Jepang sangat menghormati para pembesar di negaranya. Apabila orang tersebut wafat, maka kehebohan tentang hal itu akan cepat menyebar. Seba-gai penghormatan terakhir, maka ada suatu budaya di Jepang sepeti pada kutipan di bawah ini :
Buktinya :
 ...ketika surat kabar memberitakan mangkatnya Kaisar, ayahku berkata,”O! O!” Dan kemudian, “Sri Paduka mangkat akhirnya.Aku pun...” Ayahku lalu terdiam.
Aku pergi ke kota membeli kain hitan tanda berkabung. Kami menyalutkan sepotong dari kain itu pada bulatan berwarna emas di ujung tiang bendera. Dari sepotong yang lain kami membuat pita kira-kira tiga inci lebarnya dan menyan-gkutkannya pada tiang itu dekat puncaknya. Aku keluar ke jalan dan memandang bendera dari kain putih itu dengan lambang matahari terbit berwarna merah di tengahnya. Bendera dan pita hitam yang berayun-ayun di sebelahnya terlihat jelas pada dasar warna lalang itu yang kelabu dan kotor. (paragraf 5 dan 6 halaman 106)

  • ·         Menjaga simbol-simbol kebudayaan, seperti alat musik
Sebagai generasi penerus, sudah sepantasnya kita menjaga hasil kebuda-yaan yang ada di daerah kita. Koto adalah suatu alat musik yang khas di Jepang. Dan novel ini memberikan pembacanya suatu nilai budaya agar kita selalu meme-lihara simbol-simbol kebudayaan yang ada di daerah kita.
Buktinya :
 koto itu ternyata sudah ada di sana selama ini. Maka, aku pun akan duduk pula di depan meja tulisku sambil bertopang dagu, mendengarkan suara koto itu. (paragraf 2 halaman 170)

  • ·         Perlunya melestarikan atau setidak-tidaknya mengunjungi tempat-tempat peninggalan budaya
Pada hari ini, sudah sangat jarang sekali generasi muda yang mau mengun-jungi tempat-tempat bersejarah dan penting. Namun, novel ini telah menanamkan suatu nilai pada kita untuk kembali mengunjungi tempat penting tersebut.
Buktinya :
 Rupanya ia lebih suka berpikiran tentang Nichiren. K mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Pendeta Ketua. Para Pendeta, kuketahui, pada umumnya lebih ramah dari yang mungkin kita kira. Kami disambut oleh Pendeta Ketua. K menga-jukan banyak pertanyaan padanya tentang Nichiren. (paragraf 1 halaman 221)

  • ·         Tataan rambut wanita Jepang
Sebelum adanya era moderen di Jepang, para wanita Jepang memiliki suatu tradisi tersendiri dalam penataan rambutnya.
Buktinya :
 Kaum wanita tak menata rambut menutupi dahi, tetapi memilinnya berlingkar-lingkar di atas kepala.(paragraf 1 halaman 229)

  • ·         Permainan tradisional yang tetap ada
Pada noveel ini, diceritakan bahwa ada suatu tradisi yang dilakukan oleh orang Jepang ketika tahun baru datang
Buktinya :
 Suatu hari, dalam suasana Tahun Baru, Okusan mengatakan bahwa kami mesti main kartu. Aku berkata padanya. Aku berkata padanya,” Tidakkah kau tahu sajak-sajak Hyakunin Isshu?” “Tidak begitu tahu,” jawabnya. (paragraf 2 halaman 233)

  • ·         Adanya keyakinan seperti cara tidur yang baik
Di Jepang, ada suatu keyakinan tentang cara tidur yang baik, yaitu tidur dengan kaki melunjur ke arah timur.
Buktinya :
 Aku tak tahu kekuatan aneh manakah yang bekerja padaku malam itu, aku memu-tuskan malam itu untuk mengatur alas tidurku agar kakiku dapat melunjur ke timur. Berbaring dengan kaki melunjur ke barat- yakni ke arah Negeri Suci di mana si mati tinggal- akan membawa sial.(paragraf 5 halaman 265)

  • ·         Adanya acara pembakaran dupa untuk orang yang telah wafat
Pembakaran dupa untuk orang yang telah meninggal, sampai sekarang pun tetap menjadi tradisi yang dilakukan oleh para penganut agama Buddha.
Buktinya :
 Tanpa berkata-kata aku duduk di sisi kedua wanita itu. “Bakarlah dupa,” kata Okusan.
Kuturuti perintahnya dengan diam. (paragraf 4 halaman 271)

4)  NILAI SOSIAL

Nilai sosial yang ada pada novel ini antara lain :

·         Saling menolong
Sampai hari ini pun tolong menolong masih ada dalam masyarakat, namun frekuensinya sudah berkurang. Pada novel ini, Sensei mau meminjamkan uangnya pada tokoh “aku” agar ia bisa kembali ke kampung halamannya untuk memenuhi permintaan ibunya.
Buktinya :
            Kukeluarkan surat Ibu, lalu aku pun minta pinjaman padanya.
            “Tentu saja,” katanya, “kalau hanya itu yang kaubutuhkan, pasti kami dapat memberimu sekarang juga.” (paragraf 4 dan 5 halaman 55)

·         Menjenguk teman yang sedang sakit
Bila ada teman yang sakit, memang sudah seharusnya kita menjenguknya untuk menghiburnya danmeringankan penderitaannya. Seperti itu juga yang terjadi pada ayah dari tokoh “aku” yang dijenguk oleh temannya yang rela datang dari tempat yang jauh untuk menjenguk beliau.
Buktinya :
Ketika seorang temannya di masa kanak yang biasa kami panggil Saku-san dan yang tinggal kira-kira tiga mil jauhnya dari kami datang menjenguknya, ia mema-lingkan mata yang tak berseri lagi kepada kawannya itu dan berkata, “O, kaukah itu, Saku-san?” (paragraf 2 halaman 129)

·         Adanya rasa kekeluargaan
Rasa kekeluargaan itu amat penting dalam kehidupan manusia.
Buktinya :
Bagaimanapun juga, bila aku datang, ia dan seluruh keluarganya tinggal di rumah-ku. Mereka semua senang bertemu dengan aku. Aku pun senang pula, karena ru-mah itu menjadi tempat yang ramai; jauh lebih ramai ketimbang waktu orangtuaku masih hidup. (paragraf 1 halaman 155)


PERBEDAAN ANTARA NOVEL INDONESIA
DENGAN NOVEL TERJEMAHAN

Novel Indonesia yang penulis ambil sebagai bahan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara novel Indonesia dengan novel Terjamahan adalah “Surat Kecil untuk Tuhan” karya Agnes Davonar.

A.PERBEDAAN NOVEL INDONESIA DENGAN NOVEL TERJEMAHAN
·         Bahasa yang digunakan dalam kedua novel berbeda. Novel Indonesia tersebut
cenderung menggunakan bahasa yang mudah untuk dipahami, sedangkan novel
terjemahan menggunakan bahasa yang agak sulit untuk dipahami.
·         Sudut pandang penulis kedua novel berbeda. Novel Indonesia menggunakan
sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama, sedangkan novel terjemahan menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pengamat.
·         Latar tempat yang digunakan pada kedua novel berbeda. Novel Indonesia menggunakan daerah Indonesia sebagai latar tempatnya, sedangkan novel terjemahan menggunakan daerah di Tokyo sebagai latar tempat untuk ceritanya.
·         Majas yang digunakan pada kedua novel berbeda. Novel Indonesia hanya menggunakan majas personifikasi, sedangkan novel terjemahan menggunakan majas personifikasi, litotes dan hiperbola.
·         Nilai agama yang dikemukakan dalam kedua novel berbeda. Novel Indonesia mengemukakan nilai agama yang identik dengan Islam, sedangkan novel terjemahan menggunakan nilai agama yang identik dengan Buddha.

                                                                     
B. PERSAMAAN ANTARA NOVEL INDONESIA DENGAN NOVEL TERJEMAHAN

Persamaan pada kedua novel hanyalah pada jalancerita, yaitujalanceritayang memiliki alur maju.

PENUTUP
Setelah membaca novel Rahasia Hati Karya Natsume Koseki, penulis merasa bahwa cerita dalam novel ini sangatlah bagus dan menarik untuk dibaca. Penulis sangat terkesan pada novel ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini, baik itu tersirat maupun tersurat sungguh sangat luar biasa. Konflik yang dialami oleh tokoh dalam novel ini benar-benar sangat menyentuh. Novel ini memang sangat pantas dibaca.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar